Hakikatnya TAREKAT Adalah Organisasi Tasawuf, Pahami Itu !

Hakikatnya TAREKAT Adalah Organisasi Tasawuf, Pahami Itu !

Tarekat yang pada awalnya hanyalah dimaksudkan sebagai metode, cara, dan jalan yang ditempuh seorang sufi menuju pencapaian spiritual tertinggi, pensucian diri atau jiwa, yaitu dalam bentuk intensifikasi dzikr Allah, berkembang secara sosiologis menjadi sebuah institusi social-keagamaan yang memiliki ikatan keanggotaan yang sangat kuat. Esensi dari institusi tersebut misalnya berupa interaksi guru-murid, interaksi antar murid atau anggota tarekat, dan norma atau kaidah kehidupan religius yang melandasi pola persahabatan di antara mereka (Sya’raniy, tt: 13). 

Secara organisatorik, tarekat merupakan organisasi dan Trimingham menyebutnya sebagai sufi order yang berbasis ketaatan atau kepatuhan yang luar biasa, yang terlembaga dalam jiwa para murid atau anggota tarekat, atau fanatisme terhadap guru atau mursyid tarekat (Trimingham, 1973: 3). Namun demikian, institusi ketaatan tersebut pada ujungnya adalah mengarahkan wajah spirit para murid tarekat tertuju taat kepada Allah. Dengan demikian, secara manajerial, tarekat adalah suatu organisasi dengan pola dinamika dan otoritas yang top-down, yang sangat tergantung pada kepemimpinan mursyid tarekat. 

Sejarah perkembangan tarekat mencatat bahwa tarekattarekat itu secara natural mengalami perjalanan panjang (Asmin, 1995: 103), dengan meminjam teori Darwin struggle for life (perjuangan keras untuk mempertahankan eksistensi) dari natural selection (Ritzer, 2005: 51). Hal itu benar secara historik, bahwa banyak tarekat-tarekat yang secara organisatorik lenyap ditelan masa karena tidak terdapat pendukung yang memperjuangkannya, sebagaimana tarekat-tarekat yang dinisbatkan kepada sufi besar, yaitu ibn Sab’in (al-Tawil, 1988: 39). 

Namun demikian, terdapat pula fenomena tarekattarekat yang mengalami perkembangan luar biasa seperti tarekat Qadiriyyah, Naqshabandiyyah, Khalwatiyyah, dan lainlain. Perkembangan tarekat-tarekat tersebut tidak lepas dari upaya perjuangan para pengamalnya, dengan pola-pola, strategi, dan model-model tertentu yang patut dipahami. Di lain pihak perjuangan tarekat-tarekat tersebut tidak luput dari peran-peran sosial, budaya, politik dan sebagainya yang niscaya diambil oleh tarekat sebagai suatu keniscayaan empirik, karena tarekat adalah organisasi sosial yang praktis bersentuhan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. 

Pada abad ke-3 dan ke-4 H, periode sufi awal, tasawuf masih merupakan fenomena individual yang menekankan hidup asketis untuk sepenuhnya meneladani perikehidupan spiritual Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, menginjak abad ke-5 dan ke-6 H, para elit sufi konsen untuk melembagakan ajaran-ajaran spiritual mereka dalam sebuah sistem mistik praktikal agar mudah dipelajari dan dipraktikkan oleh para pengikut mereka (Mulyati, 2004: 6). Sistem mistik tersebut pada prinsipnya berisi ajaran tentang maqamat, sebuah tahapan-tahapan yang secara gradual diikuti dan diamalkan para sufi untuk sampai ke tingkat ma’rifat, dan ahwal, yaitu kondisi psiko-spiritual yang memungkinkan seseorang (salik) dapat merasakan kenikmatan spiritual sebagai manifestasi dari pengenalan hakiki terhadap Allah swt (Atceh, 1986: 71). Kondisi demikian, pada akhirnya (abad ke-6 dan ke-7 H.), melembaga sebagai sebuah kelompok atau organisasi atau ordo sufi yang terdiri dari syekh, murid, dan doktrin atau ajaran sufi yang selanjutnya dikenal dengan ta'ifah sufiyyah, dan lebih teknis lagi sebagai tarekat (Trimingham: 3). 

Dengan demikian, tarekat dapat disebut sebagai sebuah madhab sufistik yang mencerminkan suatu produk pemikiran dan doktrin mistik teknikal untuk menyediakan metode spiritual tertentu bagi mereka yang menghendaki jalan mistik menuju ma’rifat billah.Tarekat merupakan fenomena ganda, dimana pada satu sisi, menjadi sebuah disiplin mistik yang secara normatif doktrinal meliputi sistem wirid, zikir, doa, etika tawassul, ziarah, dan sejenisnya sebagai jalan spiritual sufi, sementara pada sisi yang lain merupakan sistem interaksi sosial sufi yang terintegrasi dalam sebuah tata hidup sufistik untuk menciptakan lingkungan psiko-sosial sufi sebagai kondisi yang menekankan kesalihan individual dan komunal yang tujuannya adalah tercapainya kebahagiaan hakiki, dunia akhirat. 

Kedua sisi tarekat tersebut (normatif doktrinal dan institusional) tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Doktrin tarekat, terutama aspek teosofiknya, dapat direformasi dan reformulasi terkait dengan upaya kontekstualisasi agar tarekat mampu memberi seperangkat kurikulum spiritual bagi para murid. Sementara itu, institusi tarekat, sebagai wahana sosialisasi dan aktualisasi doktrin sufi, dapat dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern menjadi sebuah ikatan sosial organis sufistik yang memungkinkan kelangsungan dan perkembangannya ke depan. Dari sisi organisasi, tarekat yang semula merupakan ikatan sederhana dan bersahaja antara guru dan murid, berpotensi untuk berkembang baik struktural maupun fungsional. 

Secara struktural, misalnya, terdapat suatu ordo tarekat yang mengembangkan jaringan-jaringan seperti pendidikan, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik. Struktur tarekat tersebut bermanifestasi dalam sebuah asosiasi-asosiasi yang pada akhirnya memperbesar tubuh atau organisasi tarekat yang bersangkutan. Salah satu contoh dari perkembangan institusi atau organisasi tarekat sebagaimana menurut Harun Nasution secara garis besar melalui tiga tahap yaitu tahap khanaqah, tahap tariqah dan tahap ta’ifah. 

Tahap Khanaqah 
Tahap khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad 10 M, gerakan ini mempunyai bentuk aristokratis. Masa khanaqah ini merupakan masa keemasan tasawuf. Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. 

Pada abad ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan. 

Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar, dan organisasi atau perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah dan ribat. Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak (Taftazany, 1985: 235). 

Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria). 

Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis. 

Tahap Tariqah 
Sekitar abad 13 M, merupakan masa terbentuknya ajaran- ajaran, peraturan, dan metode tasawuf. Pada masa ini muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf, serta masa dimana berkembangnya metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Allah swt. 

Tahap Ta’ifah 
Terjadi sekitar abad 17 M. Disini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul organisasi- organisasi tasawuf yang mempunyai cabang- cabang ditempat lain. Pada tahap ta’ifah inilah tarekat mengandung arti lain, yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu seperti tarekat Qadiriyah, tarekat Naqyabandiyah, serta tarekat Syadziliyah. 

Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan tasawuf di beberapa Negara Islam, istilah tarekat yang populer pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi adalah Al-maqaamaat dan Al-ahwaal yang mengandung pengertian sebagai pendidikan rohani yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan tasawuf. Selanjutnya pada abad ke-9 tarekat juga populer sebagai suatu perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh seorang syekh yang menganut suatu aliran tertentu, lalu diamalkan bersama dengan muridmuridnya. Sebagai model era modern menampak dalam sebuah system pendidikan pesantren di Nusantara, khususnya di Jawa. 

Sedangkan secara fungsional, tarekat dapat mengembangkan fungsi-fungsi strategis yang bervariasi, misalnya, sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah Islam, lembaga ekonomi, dan bahkan lembaga sosial-politik yang menampung aspirasi para murid tarekat. Sebagai contoh kongkret adalah kasus pemberontakan petani Banten, pada tahun 1888 M., yang disebabkan oleh ketidakpuasan para petani atas kebijakan pemerintah Kolonial Belanda yang menindas. 

Melalui organisasi tarekat-sufi (Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah) dibawah bimbingan syekh tarekat, mereka menggalang kekuatan kolektif menjadi gerakan massa menentang pemerintah (Simuh, 2002: 57). Dari peristiwa itu, dapat dimengerti, bahwa faktor situasi dan kondisi ikut menentukan tarekat berfungsi sebagai kendaraan politik menentang praktek ketidakadilan dan kezaliman. Tarekat yang semula sebagai lembaga kesalihan individual yang bersifat eksklusif, dapat berkembang secara struktural-fungsional menjadi sebuah institusi keagamaan yang kompleks yang dapat muncul darinya substruktur-substruktur baru sesuai dengan kebutuhan aktualisasi dan fungsionalisasi tarekat.


Sumber : Santri Ngalah. 2018. Tarekat Semangat Nasionalisme . Pasuruan: Yudharta Press.


Tinggalkan Komentar